Begini rasanya jadi makeup artist - Istimewa

Profesi MUA ini memang banyak diminati anak-anak muda baik perempuan maupun laki-laki, tidak ada batasan usia untuk memulai karir seperti ini, bahkan anak SD pun juga sudah ada loh yang membuka jasa makeup atau bahkan menjadi content creator.

Tak perlu panjang lebar, kini sebagian anak muda abad 21 lebih memilih pekerjaan yang kece nan profesional, bukan lagi soal kerja kantoran melainkan menjadi tukang rias alias Make Up Artist (MUA). Ya, meskipun dalam benaknya masih terbayang-bayang menjadi budak korporat, hihi.

Kebanyakan orang mendambakan pekerjaan tetap dengan gaji yang menjulang tinggi, dan dalam imajinasinya pekerjaan kantoran merupakan yang paling diincar oleh anak-anak millennial. Namun, kerja kantoran tak selamanya indah dekk...

Berkat hobi yang tersalurkan ini, segalanya yang mereka punya dapat menjadi sumber cuan sekaligus double, triple job.

Kok bisa sampe triple job?

Ya karena seorang MUA memang harus dituntut untuk menjadi manusia multitalent.

Lalu, gimana sih suka duka menjadi seorang MUA? Mungkin bagi MUA kalangan pro rasa struggle nya tidak se-keras MUA pemula. Karena memang mereka sudah punya nama dan para karyawannya.

MUA tidak hanya pandai merias saja, tapi juga harus pintar marketing, melek teknologi, kreatifitas yang tinggi untuk menjadi seorang content creator, handal fotografi dan masih banyak bidang yang harus mereka tekuni. Inilah alasannya MUA lebih mahal gajinya ketimbang kerja kantoran.

Lalu bagaimana dengan orang yang baru saja merintis karir MUA dari nol? Tentu lebih banyak ruginya ketimbang untungnya. 

Tapi jangan berkecil hati bagi para MUA pemula, meskipun sering rugi di awal, jangan kalian anggap apa yang sudah dibeli menjadi sia-sia, jadikanlah itu langkah awalmu untuk mendapatkan karya yang paling terbaik, dan poin paling penting yaitu KONSISTEN !

Berhubung penulis juga dapat mengamati sekaligus merasakan bagaimana menjalani profesi MUA di tengah gemparan teman-teman yang sudah lulus kuliah bahkan sudah mendapatkan pekerjaan yang digadang-gadang, maka penulis akan sedikit mendeskripsikan dilema-dilema yang terjadi saat menjalankan profesi ini.

Dilema dua pilihan

Memutuskan untuk memilih profesi MUA bukanlah hal yang mudah. Melihat profesi ini merupakan profesi musiman. Artinya tidak setiap hari ia mendapatkan job karena seorang MUA hanya bekerja saat ada momen-momen tertentu seperti perayaan wisuda, lamaran, pernikahan, photoshoot dan momen-momen lainnya yang terabadikan. 

Keadaan tersebut tidak berlaku pada MUA profesional yang tiap hari instastory nya penuh dengan aktifitas meriasnya. Bagi yang pemula, pasti ia akan berpikir seperti ini,

“ah, apa aku cari kerja kantoran dulu deh. Kalo ngerias kan bisa buat kerjaan sampingan. Lagian pendapatannya juga ga bisa dipatok”.

“kalo aku sih mending kerja yang gajinya tetap, kalo dah terkumpul banyak mau aku buat modal makeup. Ntar kalo makeup ku udah pro, aku bisa resign deh dari kerjaan tadi”.


Ucapan di atas merupakan curhatan dari beberapa anonim yang dilema saat menjalankan profesinya sebagai MUA.

Apapun dilemanya, kerja kantoran masih menjadi daftar pertama untuk merintis berdirinya usaha mandiri. Ya tidak masalah, toh nyatanya banyak MUA legendaris yang bercerita bahwa sebelum memutuskan untuk menjadi wirausaha, dulunya ia bekerja di sebuah kantor.

Mahasiswa semester akhir yang sibuk cari cuan

Tidak salah lagi, ini yang bercerita merupakan penulis sendiri. Namun beberapa teman seperjuangan juga mengalami hal yang serupa. Disaat teman-teman sudah mengajukan proposal skripsinya, kami yang sedang mabuk dengan dunia makeup terkadang lupa akan hal itu. 

Saking banyaknya job wisuda, kami sampai tidak sadarkan diri, kalau sama-sama sudah di penghujung semester tua. Tentu ini membuat dilema berat.

“Udah skip aja dulu makeup mu, skripsimu kerjain”

“Dia niat KKN ga sih? Kok nge-job terus, apa ga bisa ya job nya dibatalin?”


Ungkapan yang kedua lebih menyakitkan, ketika kita yang sedang mengumpulkan cuan untuk keperluan tertentu dihakimi tidak niat kuliah dan lain sebagainya. Hal ini tidak hanya berlaku pada profesi MUA, tapi seluruh profesi yang telah menampung anak-anak semester tua.

Yah, semoga saja cepat lulus dan tidak menjadi mahasiswa abadi.

Menghadapi Julidnya Customer

Nomer tiga ini dilema paling sering ditemui di kalangan MUA, baik pemula maupun profesional. Mungkin jika MUA nya tidak baper-an akan kuat menghadapi segala apa yang dikeluarkan dari mulut customer.

Mulai persoalan harga makeup yang katanya terlalu mahal, bentuk alis yang terlalu tebal atau besar, warna mata yang tidak sesuai dengan pakaian yang dikenakannya dan lebih kejamnya permintaan dari salah anggota keluarga customer yang sama sekali bertentangan dengan signature MUA tersebut. 

Tentu itu menyebalkan. Tapi pernah ga sih sebagai MUA merasakan atau memikirkan hal seperti ini,

“kok kayaknya aku emang ga jago ya makeup in orang, karena tiap ngerias orang ada aja yang julid”

“aku takut setelah ini dia review hasil makeup ku ke temen-temennya dan tidak merekomendasikan jasaku lagi”

“pengen berhenti, tapi udah terlanjur dalem sama dunia makeup”,

Ya, penulis merasakan hal yang sama. Percayalah, seorang MUA profesional dulunya juga sama seperti kita yang masih pemula. Inti dari nomer tiga ini, jangan menaruh kepuasan pada review orang lain, tapi selalu puas lah dengan hasil yang sudah kamu perjuangkan sebelumnya, dan teruslah KONSISTEN!

Sekian, gambaran perasaan MUA yang bekerja sepenuh hati, sepenuh hari dan selalu lapang dada disaat kebanyakan orang mendambakan kerjaan yang digaji tetap dan selalu berada di ruangan ber-AC.

Tulisan ini hanya sebuah curahan hati saja, tidak mengandung unsur salah dan benar. Jadi apabila terdapat kalimat yang tidak berkenan mohon dimaafkan.

Salam hormat untuk pejuang kecantikan.